Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Thursday, 20 December 2012

MEMAHAMI HUKUM ISLAM TENTANG HUKUM KELUARGA


MEMAHAMI HUKUM ISLAM TENTANG
HUKUM KELUARGA
A. HUKUM NIKAH
          Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami-istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perkawinan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya.Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam ada lima hukum
nikah, yaitu :
a.     Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b.    Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta
          memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun      bathin.
c.    Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d.    Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
e.    Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.



B.  TUJUAN NIKAH
          Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.    Untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
b.    Untuk membentengi diri dari perbuatan tercela.
c.    Untuk menjaga dan memperoleh keturunan yang baik dan sah.
d.    Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan.

C.  RUKUN NIKAH
1.    Calon Suami
2.    Calon Istri
3.    Sigat (akad),
4.    Wali (wali si perempuan)
5.    dua orang saksi

D. SYARAT-SYARAT NIKAH
1.  Calon Suami
          Syaratnya yaitu:
a.    Beragama Islam
b.    bukan muhrim calon istri
c.    tidak dipaksa atau terpaksa
d.    Tidak sedang ihram (haji/umrah)

2.  Calon Istri
          Syaratnya yaitu:
a.    Beragama Islam
b.     Bukan muhrim calon suami
c.    Tidak sedang bersuami
d.    Tidak dalam masa iddah
e.    Tidak sedang ihram (haji/umrah)

3.  Sigat
        yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya yang bernam...” jawab mempelai laki-laki “saya terima menikahi....”. tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.

4.  Wali
          Syaratnya yaitu
a.    Beragama Islam
b.    Dewasa (baligh)
c.    Berakal sehat (aqil)
d.    Laki-laki
e.    Merdeka (bukan budak)
f.     Adil (tidak fasiq)
g.    Tidak sedang ihram (haji/ umrah )

    yang berhak menjadi wali dalam suatu pernikahan adalah :
1.    Ayah kandung, kakek terus ke atas
2.     Saudara laki-laki sekandung
3.    Saudara laki-laki seayah
4.    Anaklaki-laki dari no. 2 dan terus ke bawah
5.    Anak laki-laki dari no. 3 terus ke bawah
6.    Saudara laki-laki dari ayah yang sekandung
7.    Saudara laki-laki dari ayah yang seayah
8.    Anak laki-laki dari no. 6
9.    Anak laki-laki dari no. 7

5.  Dua orang saksi
a.  Beragama Islam
b.  Dewasa (baligh)
c.   Berakal sehat (aqil)
d.  Laki-laki
e.   Merdeka (bukan budak)
f.   Adil (tidak fasiq)

E.  KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI
          Seorang istri diharuskan menunaikan kewajibannya yang merupakan hak suami demikian pula sebaliknya, sehingga dalam kehidupan suami istri akan terjalin hubungan timbal balik yang baik, dengan kata lain masing-masing harus berupaya untuk menunaikan kewajibannya secara optimal. Dalam Buku Kompilasi Hukum, telah diatur tentang kewajiban suami istri, yang pokokpokoknya
sebagai berikut :


a. Kewajiban suami
1.    Wajib memberikan nafkah, pakaian dan tempat kediaman serta biaya rumah tangga sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya.
2.     Memimpin, memberi perlindungan dan ketenteraman guna terwujudnya keluarga sakinah, bahagia sejahtera.
3.    Bergaul dengan istri dan anak-anaknya dengan cara yang makruf, yaitu sesuai dengan kaidah akhlaqul karimah
4.    Memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak dan istrinya untuk selalu bertaqwa dan meningkatkan taqwanya
5.    Memberikan nafkah dan kediaman kepada bekas istri selama masa iddah
6.    Kewajiban suami pada istri gugur, apabila istri nusyuz.

b. Kewajiban Istri
Kewajiban istri merupakan hak suami, begitu juga sebaliknya. Adapun
kewajiban istri antara lain :
1.    Kewajiban utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2.    Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah tangga sehari-hari sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3.    Menjaga dan memelihara kehormatan diri, keluarga, suami dan harta benda suami terutama bila suami tidak di rumah.
4.    Sesuai dengan kemampuannya, membantu tugas-tugas suami terutama dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.

F.  HIKMAH PERKAWINAN
a.    dapat menentramkan jiwa
b.    menghindarkan diri dari maksiat
c.    melestarikan keturunan secara sah
d.    meningkatkan tanggung jawab
e.    mempererat ukhuwah (persaudaraan)

G. TALAK DAN RUJUK
a. Pengertian Talak
          Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak.


Hukum Talak
          Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt. Bila memperhatikan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1.    Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk talak.
2.    Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3.    Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.

Lafadl dan Bilangan Talak
          Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
1.    Sharih (terang), yaitu kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungkapan yang jelas ini maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2.    Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
          Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
a.  Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
b.  Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain Sughro atau Kubro. Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan  hilangnya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam massa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.

a. Pengertian Ruju’
          Ruju’ artinya kembali, yaitu bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa iddahnya. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah talaq raj’i (talak satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena akad lama sebenarnya belum seutuhnya terputus.

Hukum Ruju’
          Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh (jaiz) kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
a.    Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan
          apabila talak itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.
b.    Sunnah, yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
c.    Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’ kembali.
d.    Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si istri semakin menderita.

Rukun Ruju’
a.    Istri, keadaannya disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b.    Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.
c.    Sighat atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
a)    Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
b)   Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Sighat ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.

Beberapa ketentuan rujuk
1.    Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan bagi istri dan anak.
2.    Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.
3.    Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis

H. ‘IDDAH
Pengertian Iddah
          Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati.
          Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah sebagai anak dari suami yang menceraikannya.

Manfaat adanya masa iddah
1.    Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan
          perempuan tersebut.
2.    Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.

Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1.  Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2.  Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3.  Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4.  Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5.  Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan

Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1.    Perempuan yang dalam masa iddah Raj’i atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan belanja dari mantan suaminya.
2.    Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
3.    Istri yang dalam masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris, walaupun sedang hamil.

I.    PERKAWINAN MENURUT UUD NO.1 TAHUN 1974
Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974. Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar sebagai berikut .
1.    Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri dari 5 pasal.
2.    Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
3.    Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal.
4.    Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
5.    Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.
6.    Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal.
7.    Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.
8.    Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
9.    Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
10.Bab X : Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11.Bab XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal.
12.Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13.Bab XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14.Bab XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.

a. Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
          UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1.     Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2.    Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
          Nikah.
3.    Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah
          pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
4.    Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
b. Sahnya Perkawinan.
          UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menegasklan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :
1. Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2. Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
    akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati     
    perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

c. Tujuan Perkawinan
1. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
    berdasarkan Ketuuhanan Yang Maha Esa. (UU. No. 1 Th. 1974)
2.  “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.

d. Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak
Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1.    Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.    Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.

          Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
          Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun 1974. Kemudian untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas, pelajarilah pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989

1 comment: