MEMAHAMI
HUKUM ISLAM TENTANG
HUKUM
KELUARGA
A. HUKUM NIKAH
Nikah atau perkawinan adalah akad
(ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya. Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan
rumah tangga (suami-istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan
rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan
merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena
sebenarnya perkawinan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak turunnya, tetapi
antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa
dengan suku/bangsa lainnya.Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam
Islam ada lima hukum
nikah,
yaitu :
a. Jaiz, artinya
boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari
pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya
pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b. Sunat, yaitu apabila
seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta
memiliki kemampuan untuk memberikan
nafkah lahir maupun bathin.
c. Wajib, yaitu bagi yang
memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus
kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga
bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan
akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d. Makruh, yaitu bagi yang
tidak mampu memberikan nafkah.
e. Haram, yaitu apabila
motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti
istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
B. TUJUAN
NIKAH
Pernikahan dalam Islam bukanlah
sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di
muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan
kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.
Untuk
memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
b. Untuk membentengi diri dari perbuatan
tercela.
c. Untuk menjaga dan memperoleh keturunan
yang baik dan sah.
d. Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan
ketaqwaan.
C. RUKUN
NIKAH
1.
Calon Suami
2.
Calon Istri
3.
Sigat (akad),
4.
Wali (wali si perempuan)
5.
dua orang saksi
D. SYARAT-SYARAT
NIKAH
1. Calon
Suami
Syaratnya yaitu:
a.
Beragama Islam
b.
bukan muhrim calon istri
c.
tidak dipaksa atau terpaksa
d. Tidak sedang ihram (haji/umrah)
2. Calon
Istri
Syaratnya yaitu:
a. Beragama Islam
b. Bukan muhrim calon suami
c. Tidak sedang bersuami
d. Tidak dalam masa iddah
e. Tidak sedang ihram (haji/umrah)
3. Sigat
yaitu perkataan dari
pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya
yang bernam...” jawab mempelai laki-laki “saya terima menikahi....”. tidak
sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwij, atau terjemahan dari
keduanya.
4. Wali
Syaratnya yaitu
a. Beragama Islam
b. Dewasa (baligh)
c. Berakal sehat (aqil)
d. Laki-laki
e. Merdeka (bukan budak)
f. Adil (tidak fasiq)
g. Tidak sedang ihram (haji/ umrah )
yang
berhak menjadi wali dalam suatu pernikahan adalah :
1.
Ayah
kandung, kakek terus ke atas
2.
Saudara laki-laki sekandung
3.
Saudara
laki-laki seayah
4.
Anaklaki-laki
dari no. 2 dan terus ke bawah
5.
Anak
laki-laki dari no. 3 terus ke bawah
6.
Saudara
laki-laki dari ayah yang sekandung
7.
Saudara
laki-laki dari ayah yang seayah
8.
Anak
laki-laki dari no. 6
9.
Anak
laki-laki dari no. 7
5. Dua
orang saksi
a. Beragama Islam
b. Dewasa (baligh)
c.
Berakal
sehat (aqil)
d. Laki-laki
e. Merdeka (bukan budak)
f.
Adil
(tidak fasiq)
E. KEWAJIBAN
SUAMI DAN ISTRI
Seorang istri diharuskan menunaikan
kewajibannya yang merupakan hak suami demikian pula sebaliknya, sehingga dalam
kehidupan suami istri akan terjalin hubungan timbal balik yang baik, dengan
kata lain masing-masing harus berupaya untuk menunaikan kewajibannya secara
optimal. Dalam Buku Kompilasi Hukum, telah diatur tentang kewajiban suami
istri, yang pokokpokoknya
sebagai
berikut :
a. Kewajiban suami
1. Wajib memberikan nafkah, pakaian dan tempat kediaman serta
biaya rumah tangga sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya.
2. Memimpin, memberi
perlindungan dan ketenteraman guna terwujudnya keluarga sakinah, bahagia
sejahtera.
3. Bergaul dengan istri dan anak-anaknya dengan cara yang makruf,
yaitu sesuai dengan kaidah akhlaqul karimah
4. Memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak dan istrinya
untuk selalu bertaqwa dan meningkatkan taqwanya
5. Memberikan nafkah dan kediaman kepada bekas istri selama masa iddah
6. Kewajiban suami pada istri gugur, apabila istri nusyuz.
b. Kewajiban Istri
Kewajiban
istri merupakan hak suami, begitu juga sebaliknya. Adapun
kewajiban
istri antara lain :
1. Kewajiban utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2. Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah tangga sehari-hari
sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3. Menjaga dan memelihara kehormatan diri, keluarga, suami dan
harta benda suami terutama bila suami tidak di rumah.
4. Sesuai dengan kemampuannya, membantu tugas-tugas suami terutama
dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.
F. HIKMAH
PERKAWINAN
a.
dapat menentramkan jiwa
b.
menghindarkan diri dari maksiat
c.
melestarikan keturunan secara sah
d.
meningkatkan tanggung jawab
e.
mempererat ukhuwah (persaudaraan)
G. TALAK
DAN RUJUK
a. Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab
adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan
atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan
lain yang senada dengan maksud talak.
Hukum Talak
Dalam Agama Islam, hukum asal talak
adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt. Bila memperhatikan situasi dan kondisinya
serta kemaslahatan dan kemudlaratan
talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1. Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim
memandang perlu untuk talak.
2. Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya
dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3. Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan
haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.
Lafadl dan Bilangan Talak
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa
ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang
sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
1. Sharih (terang), yaitu kalimat yang jelas tujuannya, seperti :
“saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungkapan yang jelas ini
maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya
atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah
engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak
maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak
maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak
menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
a. Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya
talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih
dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
b. Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain Sughro atau Kubro. Talak
Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk ketika istri
masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam
massa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak
dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Talak
Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang
menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih
dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas)
bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul
serta telah habis masa iddahnya.
a. Pengertian Ruju’
Ruju’ artinya kembali, yaitu
bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis
masa iddahnya. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah talaq raj’i (talak
satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena akad lama
sebenarnya belum seutuhnya terputus.
Hukum Ruju’
Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh
(jaiz) kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
a. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari
satu dan
apabila talak itu dijatuhkan sebelum
gilirannya disempurnakan.
b. Sunnah, yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding
meneruskan perceraian.
c. Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian
lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’ kembali.
d. Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si istri semakin
menderita.
Rukun Ruju’
a. Istri, keadaannya disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri
yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena
dipaksa, Islam dan sehat akal.
c. Sighat atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
a) Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
b) Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”.
Sighat ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan
dengan sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan
kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.
Beberapa ketentuan rujuk
1. Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan
bagi istri dan anak.
2. Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu
atau dua kali.
3. Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis
H. ‘IDDAH
Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu
ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya,
baik cerai biasa maupun cerai mati.
Selama masa iddah bekas istri tidak
boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya,
disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan
bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah sebagai anak dari
suami yang menceraikannya.
Manfaat adanya masa iddah
1. Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan
perempuan tersebut.
2. Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri
itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat
untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan
jalan yang sangat baik.
Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1. Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh
suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah
(pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh
langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2. Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa
iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya
dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka
masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4. Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal
haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5. Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik
karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak
pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1. Perempuan yang dalam masa iddah Raj’i atau yang ditalak dalam keadaan
hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal,
pakaian, dan belanja dari mantan suaminya.
2. Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau
juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal
saja dan tidak yang lainnya.
3. Istri yang dalam masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris,
walaupun sedang hamil.
I.
PERKAWINAN MENURUT UUD NO.1 TAHUN 1974
Perawinan
menurut UU. No. I Tahun 1974. Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan
terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar
sebagai berikut .
1. Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri dari 5 pasal.
2. Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
3. Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal.
4. Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
5. Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.
6. Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal.
7. Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.
8. Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, terdiri dari 4
pasal.
9. Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
10.Bab X : Hak dan Kewajiban
antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11.Bab XI : Perwalian
terdiri dari 5 pasal.
12.Bab XII :
Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13.Bab XIII :
Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14.Bab XIV :
Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.
a. Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam
kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
3. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
b. Sahnya Perkawinan.
UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
menegasklan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian
dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :
1.
Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2.
Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan
gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
c. Tujuan Perkawinan
1.
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuuhanan Yang Maha Esa. (UU.
No. 1 Th. 1974)
2. “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah”.
d. Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak
Menurut
UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1. Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.
Tata cara perceraian dan pengajuan
gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
Sedangkan peranan
Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada dasarnya sama dengan
pasal 39 UU No. I Tahun 1974. Kemudian untuk mendapatkan gambaran yang agak
jelas, pelajarilah pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989
ReplyDeleteDep. Perdata FH UII Selenggarakan Kuliah Umum Hadapi MEA Soal Perlindungan Konsumen