Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Saturday, 3 December 2016

CHAPTER 7 KORUPSI



BAB 7
KORUPSI
PENDEKATAN SOSIOLOGI
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang lazim dipergunakan adalah “penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan pribadi” (“the abuse of public power for private gain”).
Korupsi merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian dan kelembagaan tertentu mendorong bahkan memberikan ganjaran (reward) untuk perbuatan korupsi.
 Lingkungan perekonomian dan kelembagaan menentukan lingkup korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem perekonomian dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi cenderung memiliki empat ciri :
a.       Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial monopoly power) atas pengambilan keputusan
b.      Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang (discretion) yang besar
c.       Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan (tidak accountable terhadap) tindakan mereka) mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya.

Keempat ciri di atas melahirkan rumus atau persamaan:

Di mana:
C       = corruption (korupsi)
MP    = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D       = discretion (kelonggaran wewenang)
A       = accountability (akuntabilitas)
Tdm    = transparency of decision – making (keterbukaan dalam pengambilan keputusan)

DELAPAN PERTANYAAN TENTANG KORUPSI
Bagian ini disarikan dari tulisan Jakob Svensson, seorang senior economist pada
Development Research Group, Word Bank. Sevensson mengajukan dan membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi sebagai berikut:
1.      What is Corruption? ( Apa sesungguhnya korupsi itu?)
2.      Which countries are the most corrupt? (Negara – negara mana yang paling korup?)
3.      What are the common characteristics of countries with high corruption? (Apa ciri-ciri umum negara yang mempunyai tingkat korupsi yang tinggi?)
4.      What is the magnitude of corruption? (Berapa besarnya korupsi?)
5.      Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? (Apakah gaji lebih tinggi untuk para birokrat akan menekan korupsi?)
6.      Can competition reduce corruption? ( Apakah persaingan dapat menekan korupsi?)
7.      Why have there been so few (recent) succesful attempts to fight corruption? (mengapa (akhir-akhir ini) begitu sedikit upaya yang berhasil memerangi korupsi?)
8.      Does corruption adversely affect growth? (Apakah korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan?)

Pertanyaan Pertama
            What is corruption? Korupsi umumnya didefinisi adalah penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse of public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi, misanya, penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.
            Korupsi adalah outcome, cerminan dari lembaga-lembaga hukum, ekonomi, budaya dan politik suatu negara. Korupsi dapat berupa tanggapan atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan. Peraturan lalu lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk mengatur ketertiban di jalan. Pelanggaran aturan ini menyogok polisi lalu lintas untuk menghindari sanksi.


                                                                                 
Pertanyaan Kedua
            Which countries are the most corrupt? Bagaimana kita mengukur korupsi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran antar-negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar-negara oleh Knack dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indikator korupsi yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam usaha mengukur risiko (private risk-assesment firms). Di antaranya, International Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling populer, karena ia meliputi lebih banyak kurun waktu dan negara.
            Bentuk yang kedua adalah indeks yang menunjukkan rata-rata dari berbagai peringkat oleh sumber – sumber yang menghimpun data mengenai persepsi adanya korupsi. Diantaranya, yang paling populer adalah Corruption Perception Index (CPI).
            Kaufmann, Kraay da Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran yang melengkapi pengukuran tersebut di atas, yakni Control of Corruption (CoC)
           
Pertanyaan Ketiga
            What are the common characteristics of countries with high corruption? Ada teori – teori yang melihat ciri-ciri umum negara korup dari peranan lembaga-lembaga (institutional theories). Teori – teori ini dapat dipilah dalam dua kelompok besar.
            Kelompok toeri pertama memandang mutu lembaga dan karenanya juga korupsi dibentuk oleh faktor – faktor ekonomi. Secara singkat, perkembangan lembaga-lembaga merupakan respons terhadap tingkat pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan yang terkait diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan dalam human capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan dalam kelembagaan (Lipset, 1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes dan Shleifer, 2004).
            Kelompok institusional theories kedua menekankan peran lembaga – lembaga secara lebih langsung. Teori – teori ini sering kali memandang lembaga-lembaga sebagai pantang menyerah (persistent) dan bawaan (inherited).
Pertanyaan Keempat
What is the magnitude of corruption? Peringkat negara-negara berdasarkan persepsi tingkat korupsi bersifat subjektif. Kesimpulan diambil bukan dari penelitian yang mendalam melainkan atas dasar kesan, dan pengamatan sekilas (anecdotal).
Pertanyaan Kelima
Do higher wages of bureaucrats reduce corruption? Bukti sistematis yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan tingkat korupsi memang meragukan. Rauch dan Evans (2000) menemukan tidak ada bukti kuat mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya tingkat korupsi. Sebaliknya, Van Rijckeghem dan Weder (2001) menunjukkan sebaliknya. Memang sulit untuk mengukur korupsi dengan menggunakan data persepsi korupsi lintas negara. Sulit untuk memastikan bahwa gaji yang tinggi merupakan fungsi dari rendahnya korupsi, atau sebaliknya. Hal yang menambah kesulitan untuk menarik kesimpulan adalah data gaji yang agregat. Kenaikan gaji dari suatu kelompok penerima gaji mungkin tidak berkaitan dengan korupsi oleh kelompok yang lain.

Pertanyaan Keenam
Can competetion reduce corruption? Pertanyaannya mengenai apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan untuk menekan korupsi melalui peningkatan persaingan. Jalan pikirannya adalah, ketika persaingan yang kuat, peserta tender akan berusaha menekan harga jual mereka sekuat mungkin. Sehingga tidak tersedia dana untuk menyogok pejabat. Dalam kenyataannya, hubungan antara laba perusahaan dan korupsi sangatlah kompleks, dan secara analitis tidaklah selalu jelas.
Pertanyaan Ketujuh
Why have there been o few (recent) succesful attempts to fight corruption? Di banyak negara, termasuk indonesia, pemberantasan korupsi dilakukan melalui gebrakan-gebrakan oleh lembaga atau aparat (penegak) hukum dan keuangan (para pemeriksa, seperti auditor dan investigator).
Pertanyaan Kedelapan
Does corruption adversely affect growth ?  Di era order baru, ada pakar  dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan perusahaan bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi yang tidak efisien. Argumen ini didokumentasikan oleh Leff,1964 dan Huntington,1968). Dalam kebanyakan teori yang menghubungkan korupsi dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan korup itu sendiri bukanlah biaya sosial terbesar. Kerugian terbesar dari korupsi adalah bahwa korupsi melahirkan perusahaan yang tidak efisien dan alokasi talenta (SDM), teknologi, dan modal justru menjauhi penggunaannya yang paling produktif bagi masyarakat. 

KORUPSI – TINJAUAN SOSIOLOGI
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada jurusan Kajian Melayu, Universitas Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh LP3ES.
Dari kasus – kasus korupsi sekitaran tahun 1970 – 1980-an yang dilaporkan Prof. Alatas, dapat disimpulkan antara lain berikut ini:
1.      Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit kekanak – kanakan alias mencuri terang – terangan.
2.      Bahkan “pemain”-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti bank – bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI (sekarang TNI), dan lain-lain.
3.      Gebrakan membawa sukses “sesaat” seperti terlihat dalam hasil kerja Komisi Empat, Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.

KORUPSI – TIJAUAN SOSIOLOGI ADITJONDRO
Geogre Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Ia pernah menerima penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru, dari (pada waktu itu Presiden) Soeharto. Sepuluh tahun kemudian penghargaan itu dikembalikannya sebagai protes atas pelanggaran HAM dan lingkungan oleh rezim soeharto. Tulisan – tulisannya tercecer mengenai korupsi oleh para mantan presiden, keluarga dan kroninya dibukukan dengan judul “Korupsi Kepresidenan”.
Ada beberap kesimpulan yang dibuat Aditjoro mengenai korupsi kepresidenan di Indonesia, yang perlu diketahui akuntan forensik:
1.      Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai penguasa) yang melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus.
2.      Oligarki yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami (Taufiq Kiemas) presiden atau spouse-led oligarchi. Aditjoro menambahkan bahwa itulah sebabnya sejumlah penulis mengingatkan Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, untuk menarik pelajaran dari kasus Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal Arroyo) dan dari Asif Zardari (suami Benazir Bhutto).
3.      Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi keperntingan mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan kekayaan?”

Pertanyaan bagi akuntan forensik tentang kasus soeharto yaitu:
1.      Ada atau tidak alternatif penyelesaian secara hukum yang dapat menyimpulkan bersalah atau tidaknya Soeharto? Pertanyaan ini terlepas dari apakah pemerintahan yang berkuasa akan memberikan pengampunan.
2.      Apa pun bentuk penyelesaian terhadap soeharto, apakah penuntutan terhadap pejabat lain atau kroninya dapat dilakukan? Pertanyaan ini timbul karena kesan yang ingin diberikan, khususnya dalam kasus tujuh yayasan (Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora), bahwa segala sesuatunya hanyalah tanggung jawab soeharto, sedang orang lain hanyalah pelaksana yang mengikuti perintahnya.
3.      Apakah keputusan yang akan diambil (secara hukum atau non-hukum) akan mengamankan secara hukum proses pemulihan harta yang diduga hasil jarahan, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.
4.      Bagaimana menembus upaya-upaya soeharto, keluarganya, kroninya dan jaringan bisnis dan politiknya untuk mengamankan kekayaan yang diduga berasal dari korupsi dari sentuhan hukum seperti yang dibahas Aditjoro?
5.      Kalau terjadi kegagalan (sebagian atau sepenuhnya) dalam kasus korupsi soeharto, apa dampak negatif dari upaya hukum terhadap keluarga, penguasa/pejabat lain di era soeharto dan penguasa – penguasa sesudah Soerharo

DAFTAR PUSTAKA

ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2012). REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi elektronik) pp. 20-35.

ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2010). REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi elektronik) pp. 75-76.
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2008). REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi elektronik) pp. 15-25.
Tuanakotta, T. M. (2010 ). Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. In T. M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. Salemba Empat.

No comments:

Post a Comment