BAB 7
KORUPSI
PENDEKATAN SOSIOLOGI
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang
lazim dipergunakan adalah “penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan
pribadi” (“the abuse of public power for private gain”).
Korupsi
merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan.
Sistem perekonomian dan kelembagaan tertentu mendorong bahkan memberikan
ganjaran (reward) untuk perbuatan korupsi.
Lingkungan perekonomian dan kelembagaan
menentukan lingkup korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem
perekonomian dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan”
korupsi cenderung memiliki empat ciri :
a. Individu
pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial monopoly power) atas
pengambilan keputusan
b. Pejabat
yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang (discretion) yang besar
c. Mereka
tidak perlu mempertanggungjawabkan (tidak accountable terhadap) tindakan
mereka) mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya.
Keempat
ciri di atas melahirkan rumus atau persamaan:
Di mana:
C
= corruption (korupsi)
MP = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D
= discretion (kelonggaran wewenang)
A
= accountability (akuntabilitas)
Tdm
= transparency of
decision – making (keterbukaan dalam pengambilan keputusan)
DELAPAN
PERTANYAAN TENTANG KORUPSI
Bagian ini disarikan
dari tulisan Jakob Svensson, seorang senior economist pada
Development Research
Group, Word Bank. Sevensson mengajukan dan membahas delapan pertanyaan mengenai
korupsi sebagai berikut:
1. What
is Corruption? ( Apa sesungguhnya korupsi itu?)
2. Which
countries are the most corrupt? (Negara – negara mana yang paling korup?)
3. What
are the common characteristics of countries with high corruption? (Apa
ciri-ciri umum negara yang mempunyai tingkat korupsi yang tinggi?)
4. What
is the magnitude of corruption? (Berapa besarnya korupsi?)
5. Do
higher wages of bureaucrats reduce corruption? (Apakah gaji lebih tinggi untuk
para birokrat akan menekan korupsi?)
6. Can
competition reduce corruption? ( Apakah persaingan dapat menekan korupsi?)
7. Why
have there been so few (recent) succesful attempts to fight corruption?
(mengapa (akhir-akhir ini) begitu sedikit upaya yang berhasil memerangi
korupsi?)
8. Does
corruption adversely affect growth? (Apakah korupsi berdampak negatif terhadap
pertumbuhan?)
Pertanyaan
Pertama
What is corruption?
Korupsi umumnya didefinisi adalah penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan
(misuse of public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan
seperti itu meliputi, misanya, penjualan kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat,
kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan “pencurian”
(embezzlement) dana-dana pemerintah.
Korupsi adalah outcome, cerminan dari lembaga-lembaga
hukum, ekonomi, budaya dan politik suatu negara. Korupsi dapat berupa tanggapan
atas peraturan yang berguna atau peraturan yang merugikan. Peraturan lalu
lintas, misalnya, adalah peraturan yang berguna untuk mengatur ketertiban di
jalan. Pelanggaran aturan ini menyogok polisi lalu lintas untuk menghindari
sanksi.
Pertanyaan
Kedua
Which countries are
the most corrupt? Bagaimana kita mengukur korupsi sedemikian rupa sehingga
kita memperoleh gambaran antar-negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi
antar-negara oleh Knack dan Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas
indikator korupsi yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang berkecimpung
dalam usaha mengukur risiko (private risk-assesment firms). Di antaranya,
International Country Risk Guide (ICRG) adalah yang paling populer, karena ia
meliputi lebih banyak kurun waktu dan negara.
Bentuk yang kedua adalah indeks yang menunjukkan
rata-rata dari berbagai peringkat oleh sumber – sumber yang menghimpun data
mengenai persepsi adanya korupsi. Diantaranya, yang paling populer adalah
Corruption Perception Index (CPI).
Kaufmann, Kraay da Mastruzzi (2003) menghasilkan ukuran
yang melengkapi pengukuran tersebut di atas, yakni Control of Corruption (CoC)
Pertanyaan
Ketiga
What are the common
characteristics of countries with high corruption? Ada teori – teori yang melihat
ciri-ciri umum negara korup dari peranan lembaga-lembaga (institutional
theories). Teori – teori ini dapat dipilah dalam dua kelompok besar.
Kelompok toeri pertama memandang
mutu lembaga dan karenanya juga korupsi dibentuk oleh faktor – faktor ekonomi.
Secara singkat, perkembangan lembaga-lembaga merupakan respons terhadap tingkat
pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan yang terkait
diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan dalam human
capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan dalam kelembagaan (Lipset,
1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes dan Shleifer, 2004).
Kelompok institusional theories
kedua menekankan peran lembaga – lembaga secara lebih langsung. Teori – teori
ini sering kali memandang lembaga-lembaga sebagai pantang menyerah (persistent)
dan bawaan (inherited).
Pertanyaan Keempat
What is the magnitude
of corruption? Peringkat negara-negara
berdasarkan persepsi tingkat korupsi bersifat subjektif. Kesimpulan diambil
bukan dari penelitian yang mendalam melainkan atas dasar kesan, dan pengamatan
sekilas (anecdotal).
Pertanyaan Kelima
Do higher wages of
bureaucrats reduce corruption? Bukti
sistematis yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan tingkat korupsi
memang meragukan. Rauch dan Evans (2000) menemukan tidak ada bukti kuat
mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya tingkat korupsi.
Sebaliknya, Van Rijckeghem dan Weder (2001) menunjukkan sebaliknya. Memang
sulit untuk mengukur korupsi dengan menggunakan data persepsi korupsi lintas
negara. Sulit untuk memastikan bahwa gaji yang tinggi merupakan fungsi dari
rendahnya korupsi, atau sebaliknya. Hal yang menambah kesulitan untuk menarik
kesimpulan adalah data gaji yang agregat. Kenaikan gaji dari suatu kelompok
penerima gaji mungkin tidak berkaitan dengan korupsi oleh kelompok yang lain.
Pertanyaan Keenam
Can competetion reduce
corruption? Pertanyaannya mengenai apakah
persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan untuk menekan
korupsi melalui peningkatan persaingan. Jalan pikirannya adalah, ketika
persaingan yang kuat, peserta tender akan berusaha menekan harga jual mereka
sekuat mungkin. Sehingga tidak tersedia dana untuk menyogok pejabat. Dalam
kenyataannya, hubungan antara laba perusahaan dan korupsi sangatlah kompleks,
dan secara analitis tidaklah selalu jelas.
Pertanyaan Ketujuh
Why have there been o
few (recent) succesful attempts to fight corruption?
Di banyak negara, termasuk indonesia, pemberantasan korupsi dilakukan melalui
gebrakan-gebrakan oleh lembaga atau aparat (penegak) hukum dan keuangan (para
pemeriksa, seperti auditor dan investigator).
Pertanyaan
Kedelapan
Does corruption adversely affect growth ? Di era
order baru, ada pakar dan pengamat yang
berargumentasi bahwa korupsi justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut
mereka, dengan penyuapan perusahaan bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat
oleh birokrasi yang tidak efisien. Argumen ini didokumentasikan oleh Leff,1964
dan Huntington,1968). Dalam kebanyakan teori yang menghubungkan korupsi dengan
pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan korup itu sendiri bukanlah biaya
sosial terbesar. Kerugian terbesar dari korupsi adalah bahwa korupsi melahirkan
perusahaan yang tidak efisien dan alokasi talenta (SDM), teknologi, dan modal
justru menjauhi penggunaannya yang paling produktif bagi masyarakat.
KORUPSI – TINJAUAN
SOSIOLOGI
Prof.
Syed Hussein Alatas, guru besar pada jurusan Kajian Melayu, Universitas
Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di
kawasan ini. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
oleh LP3ES.
Dari
kasus – kasus korupsi sekitaran tahun 1970 – 1980-an yang dilaporkan Prof.
Alatas, dapat disimpulkan antara lain berikut ini:
1. Tipologi
korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit
kekanak – kanakan alias mencuri terang – terangan.
2. Bahkan
“pemain”-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama) seperti
bank – bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank BNI, Pertamina,
distributor pupuk, ABRI (sekarang TNI), dan lain-lain.
3. Gebrakan
membawa sukses “sesaat” seperti terlihat dalam hasil kerja Komisi Empat,
Opstib, Opstibpus, dan lain-lain.
KORUPSI – TIJAUAN
SOSIOLOGI ADITJONDRO
Geogre
Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi di
Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Ia pernah menerima
penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru, dari (pada waktu itu Presiden)
Soeharto. Sepuluh tahun kemudian penghargaan itu dikembalikannya sebagai protes
atas pelanggaran HAM dan lingkungan oleh rezim soeharto. Tulisan – tulisannya
tercecer mengenai korupsi oleh para mantan presiden, keluarga dan kroninya
dibukukan dengan judul “Korupsi Kepresidenan”.
Ada
beberap kesimpulan yang dibuat Aditjoro mengenai korupsi kepresidenan di
Indonesia, yang perlu diketahui akuntan forensik:
1. Bentuk
oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai penguasa) yang melanggengkan
dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus.
2. Oligarki
yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami (Taufiq Kiemas)
presiden atau spouse-led oligarchi. Aditjoro menambahkan bahwa itulah sebabnya
sejumlah penulis mengingatkan Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri,
untuk menarik pelajaran dari kasus Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal Arroyo)
dan dari Asif Zardari (suami Benazir Bhutto).
3. Oligarki
dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi keperntingan mantan penguasa
dengan segala cara “pemindahan kekayaan?”
Pertanyaan
bagi akuntan forensik tentang kasus soeharto yaitu:
1. Ada
atau tidak alternatif penyelesaian secara hukum yang dapat menyimpulkan
bersalah atau tidaknya Soeharto? Pertanyaan ini terlepas dari apakah
pemerintahan yang berkuasa akan memberikan pengampunan.
2. Apa
pun bentuk penyelesaian terhadap soeharto, apakah penuntutan terhadap pejabat
lain atau kroninya dapat dilakukan? Pertanyaan ini timbul karena kesan yang
ingin diberikan, khususnya dalam kasus tujuh yayasan (Dharmais, Dakab,
Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan
Trikora), bahwa segala sesuatunya hanyalah tanggung jawab soeharto, sedang
orang lain hanyalah pelaksana yang mengikuti perintahnya.
3. Apakah
keputusan yang akan diambil (secara hukum atau non-hukum) akan mengamankan
secara hukum proses pemulihan harta yang diduga hasil jarahan, baik yang berada
di dalam maupun di luar negeri.
4. Bagaimana
menembus upaya-upaya soeharto, keluarganya, kroninya dan jaringan bisnis dan
politiknya untuk mengamankan kekayaan yang diduga berasal dari korupsi dari
sentuhan hukum seperti yang dibahas Aditjoro?
5.
Kalau terjadi kegagalan
(sebagian atau sepenuhnya) dalam kasus korupsi soeharto, apa dampak negatif
dari upaya hukum terhadap keluarga, penguasa/pejabat lain di era soeharto dan
penguasa – penguasa sesudah Soerharo
DAFTAR
PUSTAKA
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2012). REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi elektronik) pp. 20-35.
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2010).
REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi
elektronik) pp. 75-76.
ACFE (Association of Certified Fraud Examiners). (2008).
REPORT TO THE NATIONS on occupational Fraud and Abuse. 2012, (versi
elektronik) pp. 15-25.
Tuanakotta, T. M. (2010 ). Akuntansi Forensik Dan Audit
Investigatif. In T. M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik Dan Audit
Investigatif. Salemba Empat.
No comments:
Post a Comment