Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Tuesday 13 December 2016

AUDIT INVESTIGATIF DENGAN MENGANALISIS UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM



AUDIT INVESTIGATIF DENGAN MENGANALISIS UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM

PENGANTAR
Akuntan forensik bekerja sama dengan praktisi hukum dalam menyelesaikan masalah hukum. Karena itu akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana umum (dimana beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur), tindak pidana khusus (seperti korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain), pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum administrasi dan sebagainya.
Bab ini membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan mengenai perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat “Undang-Undang Tipikor”).
Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat yang dapat dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-unsur ini dikenal dengan istilah Belanda, Bestanddeel (tunggal) atau bestanddeelen (jamak). Penyidik atau akuntan forensik mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti yang dikumpulkan untuk setiap unsur akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan hukum.

TIGA PULUH JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI

Undang-undang tipikor merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang dibagi dalam tujuh kelompok yang diringkas dalam Tabel 1.






Tabel 1
Perincian 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001



No


KelompokTipikor


Keterangan


Pidana
Penjara
Pidana
Penjara
(tahun)


d/da
Pidana
Denda
( juta Rp )
Min
Maks
Min
Maks
Kerugian KeuanganNegara






1
Pasal 2
Memperkaya diri
Seumur hidup
4
20
d
200
1.000



Pidana mati





2
Pasal 3
Menyalahgunakan
Wewenang
Seumur hidup
1
20
da
50
1.000
Suap Menyuap






3
Psl 5 ayat
(1)a
Menyuap PN

1
5
da
50
250
4
Psl 5 ayat
(1)b
Menyuap PN

1
5
da
50
250
5
Pasal 13
Memberi hadiah ke PN


3
da

150
6
Psl 5 ayat(2)
PN menerimasuap

1
5
da
50
250
7
Pasal 12.a
PN menerima suap
Seumur hidup
4
20
d
200
1.000
8
Pasal 12.b.
PN menerima suap
Seumur hidup
4
20
d
200
1.000
9
Pasal 11
PN menerimasuap

1
5
da
50
250
10
Psl 6 ayat(1).a
Menyuap Hakim

3
15
d
150
750
11
Psl 6 ayat(1).b
Menyuap advokat

3
15
d
150
750
12
Psl 6 ayat(2)
Hakim & Advokat terima suap

3
15
d
150
750
13
Pasal 12.c
Hakim menerima suap
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
14
Pasal 12.d
Advokat menerima suap
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
Penggelapan dalam Jabatan






15
Pasal 15
PN menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan

3
15
d
150
750
16
Pasal 9
PN. I memalsukan buku

1
5
d
50
250
17
Pasal 10.a
PN. I merusakbukti

2
7
d
100
350
18
Pasal 10.b
PN membiarkan orang lain merusakkan bukti

2
7
d
100
350
19
Pasal 10.c
PN membantuorang lain merusakkan bukti

2
7
d
100
350
Perbuatan Pemerasan






20
Pasal 12.e
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
21
Pasal 12.g
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
22
Pasal 12.h
PN memeras
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
Perbuatan Curang






23
Psl 7 ayat(1)
A
Pemborong berbuat curang

2
7
da
100
350
24
Psl 7 ayat(1)
B
Pengawas proyekmembiarkan perbuatan curang

2
7
da
100
350
25
Psl 7 ayat(1)
C
Rekanan TNI/Polri berbuat curang

2
7
da
100
350
26
Psl 7 ayat(1)
D
Pengawas rekanan TNI/Polri berbu at curang

2
7
da
100
350
27
Psl 7 ayat (2)
Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang

2
7
da
100
350
28
Psl 12.h
PN memeras

4
20
d
200
1.000
Benturan Kepentingan dalam
Pengadaan






29
Pasal 12.i
PN turut serta dlm pengadaan yang diurusnya
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000
Gratifikasi






30
Psl 12B
jo.12C
PN menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK
Seumur Hidup
4
20
d
200
1.000

TINDAK PIDANA LAIN BERKAITAN DENGAN TIPIKOR

Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III mengatur beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
1.      Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.
2.      Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
3.      Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana, padahal ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita), Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu), Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan untuk memeras pengakuan atau mendapat keterangan), Pasal 429 (pejabat melampaui kekuasaan ... memaksa masuk ke dalam rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup ... atau berada di situ secara melawan hukum) atau Pasal 430 (pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket ... atau kabar lewat kawat)

BEBERAPA KONSEP UNDANG-UNDANG

Di bawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-konsep itu adalah:
1.      Alat bukti yang sah
2.      Beban pembuktian terbalik
3.      Gugatan perdata atas harta yang disembunyikan
4.      Pemidanaan secara in absentia
5.      “memperkaya” versus “menguntungkan”
6.      Pidana mati
7.      Nullum delictum
8.      Concursus idealis
9.      Concursus realis
10.  Perbuatan berlanjut
11.  “lepas dari tuntutan hukum” versus “bebas”.
Konsep-konsep ini akan dibahas secara singkat dan dimaksudkan untuk membantu akuntan forensik yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam analisis kasus, pembaca dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep ini.
Alat Bukti yang Sah
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.              alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.             dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.


Beban Pembuktian Terbalik
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana.
Gugatan Perdata atas Harta yang Disembunyikan
            Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Perampasan Harta Benda yang Disita
            Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat 5 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan pidana korupsi maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
dan penjelasannya yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan Negara”.
Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan baginya banding tidak ada. Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada perampasan harta benda yang telah disita.
Pemidanaan secara in Absentia
            Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in absentia. Hal ini diatur dalam pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor yang berbunyi sebagai berikut:
(1)      Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2)      Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3)      Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4)      Terdakwa  atau  kuasanya  dapat  mengajukan  banding  atas  putusan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

“Memperkaya” versus “Menguntungkan”
Seorang pejabat menerima suap dari seorang pengusaha dan seluruh jumlah itu diberikan kepada atasannya. Pejabat itu tidak memperkaya dirinya, tetapi tetap menguntungkan dirinya. Dengan meneruskan seluruh suap itu kepada atasannya, ia menguntungkan diri karena bisa mendapat keistimewaan (favor) dalam bentuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan seterusnya.
Perumusan TPK dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor berbeda dari perumusan dalam Pasal 3. Dalam Pasal 2, digunakan istilah “memperkaya diri sendiri atau orang lain”. Sementara itu, dalam Pasal 3, digunakan istilah “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”
Pidana Mati
Dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Tipikor, dikatakan: “Dalam  hal tindak  pidana  korupsi  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Penjelasannya berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagaipemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukanpada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Nullum Delictum
Maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada”
Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus. Pertama untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum keluarnya suatu undang-undang, tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut. Kedua, sewaktu KPK menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK, ada orang yang mempertanyakan wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum ini. Dalam kasus semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena substansi hukumnya sudah diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK itu. Yang terjadi kemudian adalah perluasan dari aparat yang menanganinya, yakni dari polisi dan jaksa ke KPK.
Concursus Ideais
Konsep concursus idealis berkenaan dengan satu perbuatan yang tercakup dalam lebih dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyasalah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancamanpidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Concursus Realis
Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang dilakukan berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokokyang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang trerberat ditambah sepertiga.
Perbuatan Berlanjut
Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan ataupelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satuperbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yangditerapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

“Lepas dari Tuntutan Hukum” versus “Bebas”
Putusan bebas (vrijspraak) atau bebas murni (zuivere vrijspraak) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 1 yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.”
“Lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging) diatur dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwaan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”


ANALISIS KASUS KORUPSI

Para akuntan forensik dapat menarik pelajaran berharga dari pendapat dan komentar para ahli hukum mengenai kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim. Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah adalah salah satu seorang di antara para ahli hukum pidana dan hukum acara pidana yang banyak menulis tentang kasus-kasus korupsi.
Analisis berikut disarikan dari tulisan beliau. Beliau memberikan pendapat dalam kasus-kasus korupsi, seperti dalam kasus Akbar Tandjung di Pengadilan Tinggi. Selanjutnya pendapat beliau digunakan oleh Mahkamah Agung meskipun tidak secara utuh.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah mencantumkan posisi dan analisis kasusnya secara terperinci. Analisis di bawah merupakan ringkasan untuk menonjolkan hal-hal penting bagi akuntan forensik. Para akuntan forensik sebaiknya mempelajari dokumentasi dari suatu kasus secara utuh, yaitu sejak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum, sampai kepada Mahkamah Agung.

KASUS SAMADIKUN HARTONO
Penuntut Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk), bersama-sama dengan Bambang Trianto (Presiden Direktur PT Bank Modern Tbk).
Dakwaan primair
Secara berlanjut (voortgezette handeling) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan secara melawan hukum atau secara tidak patut menggunakan uang atau menyalurkan dana BLBI atau bertentangan dengan peruntukannya yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara sebesar Rp169.492.986.461,54.
Dakwaan subsidair
Perbuatan itu juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menarik sekali apa yang dikatakan Andi Hamzah mengenai putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam kasus Samadikun Hartono, serta tragedi pada akhirnya.
Dalam pertimbangan Pengadilan Negeri, perbuatan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melangar hukum. Karena itu terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan baik yang primair maupun yang subsidair.
Nyata sekali kekeliruan hakim karena pada dakwaan subsidair yang terdakwa juga dibebaskan, tidak ada bagian inti (bestanddeel) melawan hukum sehingga tidak perlu dibuktikan.
Adalah hak terdakwa dan penasihat hukumnya untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur melawan hukum, dan jika hakim menerima alasan tersebut, putusannya harus lepas dari segala tuntutan hukum dan bukan bebas (vrispraak). Putusan macam inilah yang disebut oleh doktrin sebagai bebas murni atau niet zuivere vrijspraak yang sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van alle rechtsvervolging).
Oleh karena itu, benar putusan mahkamah agung yang menerima permohonan kasasi jaksa penuntut umum karena putusan tersebut seharusnya lepas dari segala tuntutan hukum yang dapat diajukan dalam tingkat kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa terdakwa Samadikun Hartono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Terdakwa dipidana dengan pidna penjara empat tahun dan denda sebesar Rp20.000.000,00 subsidair tiga bulan kurungan.


 


No comments:

Post a Comment