BAB 6
FRAUD
PENGANTAR
Pertanyaan yang sering
timbul, mengapa manusia melakukan fraud? Atau dalam konteks Indonesia, mengapa
pejabat penting dengan kedudukan dan penghasilan tinggi (termasuk guru besar
universitas ternama dan pimpinan LSM yang mempunyai misi memberantas korupsi)
justru terlibat dalam tindakan korupsi.
Jawaban
sederhana menjelaskan korupsi karena:”corruption (atau fraud) by need, by
greed, and by opportunity” atau dalam bahasa Indonesi (Korupsi karena
kebutuhan, karena serakah dan karena ada peluan). Maka pada pembahasan kali ini
akan memanfaatkan hasil penelitian Donald R. Cressey untuk menjawab pertanyaan
tersebut.
FRAUD
DALAM PERUNDANGAN KITA
Pengumpulan
dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu Negara dapat dilakukan
sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (tindak pidana) menurut
ketentuan perundang-undangan Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan
Indonesia yang dilaporkan oleh BPS tidak selalu tersedia dalam format yang
sama, istilah kejahatan yang dipergunakan sering kali juga tidak konsisten, dan
tidak terlalu bermanfaat untuk pembahasan akuntansi forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia, perlu
diingat bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan kejahatan. Banyak
faktor yang menyebabkan masyarakat enggan melaporkan kejahatan. Di antaranya,
tercermin dari ungkapan sehari-hari yang sederhana. Oleh karena itu, beberapa
kajian luar negeri tentang data kejahatan di Indonesia memberi peringatan
“crimes may be unreported”.
FRAUD
DALAM KUHP
Beberapa pasal dalam KUHP
yang mencakup pengertian Fraud :
1.
Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum”);
2.
Pasal 368 tentang Pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau
orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang”);
3.
Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”);
4.
Pasal 378 tentang perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang”);
5.
Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit;
6.
Pasal 406 tentng menghancurkan dan Merusak Barang (definisi KUHP: “dengan
sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak layak
dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian barang
orang lain”) ;
7.
Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang
secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199).
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur
perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam ketegori fraud, seperti
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan berbagai
undang-undang perpajakan yang mengatur tindak pidana perpajakan.
FRAUD TREE (POHON
FRAUD)
Secara
skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan
occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang
dari fraud dalam hubungan kerja, beserta rantinf dan anak rantingnya.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama,
yakni corruption, asset
misappropriation, dan fraudulent statements.
Corruption
Istilah corruption disini
serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundangan
kita. Korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi
dan 4 bentuk dalam ranting-ranting: conflicts
of interest, bribery, illegal gratuities, economics extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya dapat berupa
bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni mereka yang
menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis.
Ciri-ciri mereka menjadi pemasok :
1.
Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa.
Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut
sudah lengser
2.
Nilai kontrak relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat dalam arm’s
length. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga dengan mark up atau
penggelembungan.
3.
Para rekanan ini, meskipun hanya sefelintir, mengusai pangsa pembelian
yang relatif sangat besar dalam lembaga tersebut.
4.
Kemenangan dalam proses tender dicapai dengan cara-cara tidak wajar.
5.
Hubungan antara penual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat
atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebgai órang depan”
atau ada persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan.
Bisnis
yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan
sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam
kehidupan bisnis dan politik Indonesia.Kickbacks merupakan salah satu bentuk
penyuapan di mana si penjual “mengikhlaskan” sebagian dari hasil penjualannya.
Persentase yang dihasilkan itu bisa diatur dimuka, atau diserahkan sepenuhnya
kepada “keikhlasan” penjual. Kickback berbeda dengan bribery. Dalam
bribery pemberinya tidak “Mengorbankan”
suatu penerimaan. Misalnya, apabila seseorang menyuap atau menyogok sesorang
penegak hukum, ia mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback
tersebut pemberinya menerima keuntungan materi.
Dalam kickback, si pembuat keputusan atau yang dapat mempengaruhi
pembuatan keputusan dapat “mengancam” sang rekanan. Ancaman ini bisa
terselubung tetapi tidak jarang pula dilakukan secara terbuka. Ancaman ini bisa
merupakan pemerasan (economic excortion).
Bid Rigging merupakan permainan tender, Illegal Gratuities
adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan.
Dalam kasus korupsi di Indonesia kita dapat melihat hal ini dalam bentuk hadiah
perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangakat dan
jabatan, dan lain-lainyang diberikan kepada pejabat.
Aset Misappropriation
Aset
misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam bahasa sehari-hari
disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil” aset secara ilegal (tidak
sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang
untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah
pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa
Inggris nya adalah embezzlement.
Aset misappropriation dalam bentuk penjarahan kas
atau cash appropriation dilakukan dalam tiga bentuk :skimming, larceny, fraudulent disbursements.
Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang
masuk.
Dalam skimming, uang dijarah sebelum uang
tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam dalam fraud
yang sangat dikenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam
perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny atau
pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah masuk ke) sistem,
maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat dengan
istilah penggelapan.
Penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke
perusahaan secara fisik atau secara administratif, dengan cara menghimpun
dana-dana tersebut dari berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan
asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut dana taktis; dalam
bahasa Belanda, tactishe fonds; dalam bahasa Inggris, slush funds. Dalam fraud
tree, baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan
sebagai corruption bukan asset misappropriation. Corruption seperti ini
mengandung ciri skimming.
Larceny
atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat
dengan lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan
perlindungan keselamatan aset (safeguarding of assets).
Pencurian
melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements) sebenarnya
satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap
perantara. Terdapat lima kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements,
yaitu :billing schemes, payroll schemes, expense reinbursement schemes, check
tampering, dan register disbursements.
Billing schemes
adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau
pembebanan tagihan sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan
“bayangan” (shell company) yang seolah-olah merupakan penyuplai atau rekanan
atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk
mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan.
Payroll schemes
adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain
dengan pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam pemalsuan
jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar dari gaji yang dibayarkan.
Expense reinbursement schemes
adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya
perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang muka perjalanan, dan sekembalinya
dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya perjalanan. Kalau biaya
perjalanan melampaui uang muka nya, ia meminta reinbursement atau penggantian.
Ada beberapa skema permainan melalui mekanisme reinbursement ini. Rincian biaya
menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya (mischaracterized expense).
Check tampering
adalah sekema permainan melalui pemalsuan cek. Hal yang dipalsukan bisa tanda
tangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemennya, atau
nama kepada siapa cek dibayarkan, atau cek nya disembunyikan (concealed
checks).
Register
disbursments adalah pengeluaran yang sudah
masuk dalam cash register. Skema permainan melalui register disbursements pada
dasarnya ada dua, yakni false refunds (pengembalian uang yang dibuat-buat) dan
false voids (pembatalan palsu).
Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di
antaranya, penggelapan dengan seolah-olah ada pelanggan yang mengembalikan
barang, dan perusahaan memberikan refund. False voids hampir sama dengan false
refund. Hal yang dipalsukan disini adalah pembatalan penjualan. Penjualan yang
sudah terekam di pita cash register dibatalkan, seolah-olah pembeli urung
melakukan pembelian. Jumlah yang sudah diterima perusahaan seolah-olah juga
dibatalkan.
Skimming
merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang
sangat populer adalah praktik gali lubang tutup lubang dalam penagihan piutang
(lapping). Contoh lain, piutang dihapusbukukan, namun tetap ditagih dari
pelanggan. Hasil tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan dijarah oleh si
penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan
barang (inventory). Dalam situasi tertentu, persediaan barang menjadi barang
menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh, penjualan BBM bersubsidi
secara ilegal pada waktu ada disparsitas harga yang tinggi antara BBM
bersubsidi dan yang tidak.Aset lainnya (yang bukan kas dan inventory) juga bisa
menjadi sasaran adalah aset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang dimiliki
perusahaan.
Modus operan di dalam penjarahan aset yang bukan
uang tunai atau uang di bank adalah “misuse da larceny”. Misuse adalah
penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraam bermotor perusahaan atau aset
tetap lainnya untuk keperluan pribadi. Contoh, alat transportasi perusahaan
atau lembaga pemerintah yang dipakai untuk mengangkut barang-barang pribadi
atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang “dipinjam” selama seseorang memegang jabatan
(misuse) dan tidak mengembalikan nya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).
Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang
diberi label “Fraudulent Statements”
dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal
oleh auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Fraud yang berkenaan
dengan penyajian laporan keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat
atau para LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun
laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatements baik
overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama,
menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya (aset/revenue
understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang
sebenarnya (aset/revenue understatements).
Ranting kedua
menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini berupa
penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan
yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan
keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern
maupun eksteren. Contoh, perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan
cadangan minyak nya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya
apabila diukur dengan standar industrinya.
AKUNTAN FORENSIK DAN
JENIS FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of asset, dan
fraudulent statements. Akuntan
forensik memusatkan perhatian pada dua cabang pertama. Cabang fraudulent
statements menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general
audit atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir
tidak pernah menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi
menyesatkan, dengan dua pengecualian.Pertama, ketika “regulator” seperti
Bapepam, Securities and Exchange Commission, atau Financial Services Authority
(OJK, Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu
kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor akuntan
publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator dapat meminta kantor
akuntan lain melakukan pendalaman, atau mereka sendiri melakukan penyidikan.
Dalam hal ini akuntan forensik melakukan audit investigatif.Mengapa? Kasusnya
bisa dibawa ke pengadilan atau diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya
harus lebih luas dan mendalam karena harus jelas siapa yang bertanggungjawab
untuk hal apa.
Kedua, ketika
fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan data secara elektronis,
terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang dominan dalam
penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaian kasus di dalam atau diluar
pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer
forensics.
MANFAAT FRAUD TREE
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud
tree memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan forensik
mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejal-gejala “penyakit”
fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red flags. Dengan memahami
gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif, akuntan
forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kondisi kita
yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat menjadi alasan untuk tidak
sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas. Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia
sering kali lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan pemerintahan yang koruptis
mengharuskan akuntan forensik berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan
forensik sebaiknyamembuat sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana yang
diperiksanya.
Fraud Triangle
Bermula dari
penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers yang disebutnya
“trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni mereka yang melanggar
kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya
diterbitkan dengan judul Other People’s Money : Study in the Social Psychology
of Embezzlement.
FRAUD
TRIANGLEE
|
PERCEIVED OPPORTUNITY
PRESSURE RATIONALIZATION
Dalam
perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut dikenal sebagai
fraud triangle atau segitiga fraud.Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul
pressure
yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya, perceived
opportunity. Sudut ketiga, rationalization.
PRESSURE
Penggelapan uang
perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure) yang
menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak
dapat diceritakan nya kepada orang lain. Konsep yang penting di sini adalah,
tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak
bisa berbagi (sharing) dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa inggris
disebut perceived non-shareable financial need.
Cressey menjelaskan,
“ketika para pelanggar kepercayaan ini ditanya: mengapa di waktu yang lalu anda
tidak melanggar kepercayaan yang diberikan terkait dengan kedudukan-kedudukan
anda terdahulu, atau mengapa anda tidak melangar kepercayaan (trust) lainnya
yang terkait dengan kedudukan anda sekarang? Umumnya jawaban mereka adalah
salah satu diantara: (a) ketika itu belum ada kebutuhan (yang mendesak) seperti
sekarang, atau (b) belum pernah terpikir untuk melakukan hal itu sebelumnya,
atau (c) diwaktu yang lalu saya mengganggap perbuatan itu tidak jujur, tapi
kali ini tidak demikian halnya.”
Bagi pelaku atau
(embezzler), ia tidak bias berbagi masalah (keuangannya) dengan orang lain,
padahal sebenarnya “berbagi masalah dengan orang lain” dapat membantunya
mencari pemecahan. Apa yang bisa diceritakan kepada orang lain tentunya
tergantung pada orang tersebut. Ada orang yang kehilangan uang dalam jumlah
besar di meja judi dan ia menyadari sebagai suatu masalah, tetapi bukan masalah
yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain. Orang lain dengan pengalaman
yang sama menganggap masalah itu harus dirahasiakan dengan bersifat pribadi.
Juga masalah yang dihadapi suatu bank, bagi bankir tertentu merupakan masalah
yang didiskusikannya dengan orang lain, sedangkan bagi bankir lain masalah itu
harus ditutup rapat-rapat, atau mencari masalah yang non shareable baginya.
Masalah tadi
digambarkan sebagai masalah keuagan karena masalah ini “dapat dipecahkan”
dengan mencuri uang atau asset lainnya. Seorang penjudi yang kalah
habis-habisan, (merasa) harus menutup kekalahannya dengan mencuri. Namun,
Cressey mencatat bahwa ada masalah non keuangan tertentu yang dapat
diselesaikan dengan mencuri uang atau asset lainnya, jadi dengan melanggar
kepercayaan yang terkait dengan kedudukannya. Contoh: kasir yang mencuri uang
perusahaan sebagai balas dendam atas perlakuan tidak adil yang dirasakannya.
Dari
penelitiannya, Cressey menemukan bahwa non-shareable problem timbul dari
situasi yang dapat dibagi dalam enam kelompok:
1. violation
of ascribed obligation
2. problems
resulting from personal failure
3. business
reversals
4. physical
isolation
5. status
gaining
6. employer-employee
relation
Keenam kelompok
situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan upaya memperoleh status lebih
tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai. Dengan lain
perkataan, non shareable problems mengancam status orang itu, atau merupakan
ancaman baginya untuk meningkatkan ke status yang lebih tinggi dari statusnya
pada saat pelanggaran terjadi.
Violation of Ascribed
Obligation
Suatu kedudukan
atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu bagi
yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau majikannya. Di samping
harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.
Orang dalam jabatan seperti itu
merasa wajib menghindari perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya. Inilah
kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, ini adalah
ascribed obligation baginya. Kalaui ia menghadapi situasi yang melanggar
kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak
dapat diungkapkannya kepada orang lain.
Problems Resulting from
Personal Failure
Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang
dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang
keuangan, sebagai kesalahan nya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu
menjadi tanggungjawab pribadinya.
Seorang
pengacara yang kehilangan tabungan hasil kerjanya bertahun-tahun. Ia menderita
rugi karena menanamkan uang nya dalam bisnis yang bersaing dengan bisnis para
pelanggannya. Ia percaya, kalau ia mengungkapkan masalahnya kepada para
pelanggannya, mereka akan bersedia membantu. Namun, ia merasa tidak mampu
mengungkapkan masalah tersebut karena telah menghianati para pelanggannya dengan
berusahan dalam bisnis “rahasia” yang bersaingan dengan mereka. Ia bahkan tidak
berani mengungkapkan kerugian tersebut kepada istrinya, dan memilih mencuri uang perusahaan.Ia takut
kehilangan status nya sebagai orang yang dipercaya dalam bidang keuangan,
karena itu ia takut mengakui kegagalannya. Kehormatan pada diri sendiri menjadi
awal kejatuhannya.
Business Reversals
Cressey
menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang juga
mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini berbeda dari kegagalan
pribadi yang dijelaskan diatas, karena pelakunya merasa bahwa kegagalan itu
berasal dari luar dirinya atau luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan
itu karena inflasi yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi,
dan lain-lain.
Physical Isolation
Situasi ini
dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini,
orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai
orang lain tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.
Status Gaining
Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk
tidak mau kalah dengan “tetangga”. Orang lain punya harta tertentu, ia juga
harus seperti itu atau lebih dari itu. Orang lain punya jabatan tertentu, ia
juga harus punya jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi yang
dibahas di atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku
bersedia meningkatkan statusnya.
Cressy mencatat,
“masalahnya menjadi non-shareable ketika orang itu menyadari bahwa ia tidak
mampu secara financial untuk naik ke status itu, untuk menikmati simbol-simbol
keistimewaan yang dijanjikan status itu secara wajar dan sah, dan pada saat
yang sama ia tidak bisa menerima kenyataan untuk tetap berada dalam status itu,
apalagi kalau harus turun status.”
Employer-Employee
Relation
Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian)
seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada
saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus
menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.
Menurut Cressey,
masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable karena kalau ia mengusulkan
solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia khawatir statusnya di organisasi itu
menjadi terancam. Juga ada motivasi yang kuat baginya untuk “membuat
perhitungan” dengan majikannya ketika ia merasa diperlakukan tidak adil.
PERCEIVED OPPORTUNITY
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi
tentang peluang. Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan bahwa
kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa
konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang dia dengar atau lihat,
misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan ketidak tahuan
atau tidak dihukum atau terkena sanksi. Kedua, technical sklill atau
keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini
biasanya keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang
menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut.General information dan technical
skills yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai oleh orang yang punya
kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya. Namun, mereka yang mempunyai posisi
dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable
financial problem, akan melihat general information dan technical skills
sebagai jalan keluar dari masalah itu. Posisi mereka yangmendapat kepercayaan
atau trust, khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan
general information dan technical skills yang mereka miliki.
RATIONALIZATION
Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan
sebagai usaha untuk mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan
sesudahnya. Biasanya secara naluri alamiah ketika kejahatan telah dilakukan,
rationalization ini ditinggalkan. karena tidak diperlukan lagi. Pertama kali
manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada perasaan tidak enak. contohnya
:ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi mudah, dan selanjutnya menjadi
biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan untuk pertama kalinya, pembenarannya
adalah: "nanti kubayar, nanti kuganti". Sekah si pelaku sukses,
mencuri secara berulang kali, ia tidak memerlukan rationalization semacam itu.
Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih adalah terjemahan untuk
istilah yang sangat dikenal dalam bahasa Inggris, yakni white-collar crime. Istilah ini dikenalkan oleh Edwin H.
Sutherland.kejahatan kerah putih merupakan kejahatan kelas atas, kelas manusia
berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan profesional terhormat,
atau paling tidak, dihormati.Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang
dilakukan dalam lingkup jabatan mereka.Kamus terbitan the Federal Bureau of
Justice Statistics (Dictionary of Criminal Justice Data Terminology)
mendefinisikan white-collar crime
sebagai:
"nonviolent
crime for financial gain committed by means of deception by persons whose
occupational status is entrepreneurial, professional or semi-professional and
utilizing their special occupational skills and opportunities; also nonviolent
crime for financial gain utilizing deception and committed by anyone having
special technical and professional knowledge of business and government,
irrespective of the person's occupation."
"Kejahatan
tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh
orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional atau semi profesional
dan yang memanfaatkan keahlian dan peluang yang diberikan oleh jabatannya; juga
kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan
penipuan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dan pengetahuan profesional
mengenai bisnis dan pemerintahan, meskipun ia tidak terkait dengan
pekerjaannya.".
Ada suatu definisi lain juga yang diusulkan oleh Albert
J. Reiss, Jr. dan Albert Biderman, yaitu :
"White-collar
crime violations are those violations of law to which penalties are attached
that involve the use of a violator's position of economic power, influence, or
trust in the legitimate economic or political institutional order for the
purpose of illegal gain, or to commit an illegal act for personal or
organizational gain."
"Pelanggaran
kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu dan
yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai kekuasaan ekonomi,
pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga yang sebenarnya mempunyai
legitimasi ekonomi dan politik namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal
atau untuk melakukan kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau
organisasi."
REPORT TO THE NATION
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
secara berkala menerbitkan kajiannya mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan
ACFE terakhir mengenai hal ini dikenal dengan nama Report to the Nation on Occupational Fraud
and Abuse. Meskipun Report to the Nation adalah untuk, dari, dan berkenaan
dengan Amerika Serikat, Namun di dalamnya ada informasi tertentu yang
bermanfaat bagi akuntan forensik (fraud examiners).ACFE mensurvei dengan carasurvey
online secara terbuka kepada Certifed Fraud Examiners (CFEs) dengan jangka
waktu satu tahun. sebagai bagian dari survey, responden di minta untuk
menyajikan sebuah naratif yang detail tentang kasus fraud yang terbesar yang
pernah mereka tangani/ investigasi dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut
harus memenuhi 4 kriteria yaitu :
1.
Kasus harus berhubungan atau
melibatkan Occupational Fraud (didefinisikan sebagai Fraud secara internal,
atau fraud yang dilakukan oleh seseorang yang
di dalam organisasi)
2.
Kasus dan investigasi yang
dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam kurun waktu survey.
3.
Investigasi dari kasus tersebut
haruslah sudah selesai pada kurun waktu survey.
4.
CFEs haruslah telah yakin dengan
pelaku kejahatan yang telah di identifikasi.
Responden juga di berikan lebih kurang 85
pertanyaan untuk dijawab terkait dengan kasus yang mereka sajikan tersebut.
termasuk dengan informasi si pelaku kejahatan, korban di dalam organisasi, dan
metode yang digunakan untuk melakukan fraud serta tentang kecenderungan fraud
secara menyeluruh. untuk menguji profesionalitas ACFE hanya mengirimkan kepada
CFEs tertentu yang dianggap baik pada kurun waktu survey dilakukan dan ACFE
meminta responden (yakni CFEs) untuk menyajikan beberapa informasi mengenai
pengalaman mereka,
profesionalitas
mereka sehingga ACFE tahu siapa yang sedang terlibat untuk mengatasi kasus yang
dikirimkan kepada mereka.
Berikut merupakan responden di dalam Report to the Nation on Occupational
Fraud and Abuse tahun 2012 :
dari
table di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden adalah Fraud
Examiner/ Investigator dan Responden rata-rata memiliki pengalaman kerja sebagai
professional di bidangnya selama 11 tahun.
Di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun
2012, dapat disimpulkan bahwa Fraud dapat terdeteksi dengan adanya informasi (yang dibeikan oleh karyawan,
konsumen, anonym, vendor, owner, competitor ), review yang dilakukan oleh
manajemen dan adanya internal audit.
seperti yang di tunjukan dibawah, pelaku kejahatan
fraud jika didasarkan oleh umur mereka, kebanyakan mereka berumur antara 31 -
41 tahun, da kecenderungannya adalah laki-laki lebih banyak melakukan fraud di
banding dengan perempuan, serta kebanyakan dari mereka adaah orang yang
memiliki degree college sampai kepada post graduate ke atas.
Jika dilihat melalui perbagian di dalam perusahaan
maka bagian yang harus diwaspadai akan adanya fraud adalah bagian Akuntansi, Operasional,
Penjualan, Manajer eksekutif atau manajer tingkat Atas, Costumer service, dan
bagian pembelian.hal dapat terlihat dari survey yang dilakukan di dalam Report
to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012. Dan kebanyakan dari
mereka melakukan fraud karena ada dorongan dari gaya hidup, kebutuhan finansial
yang mendesak, dan karena adanya control yang kurang baik dari organisasi.
Tuanakotta, T. M. (2010 ). Akuntansi Forensik Dan Audit
Investigatif. In T. M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik Dan Audit
Investigatif. Salemba Empat.