Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Wednesday 26 October 2016

BAB 6 FRAUD



BAB 6
FRAUD
PENGANTAR
Pertanyaan yang sering timbul, mengapa manusia melakukan fraud? Atau dalam konteks Indonesia, mengapa pejabat penting dengan kedudukan dan penghasilan tinggi (termasuk guru besar universitas ternama dan pimpinan LSM yang mempunyai misi memberantas korupsi) justru terlibat dalam tindakan korupsi.
            Jawaban sederhana menjelaskan korupsi karena:”corruption (atau fraud) by need, by greed, and by opportunity” atau dalam bahasa Indonesi (Korupsi karena kebutuhan, karena serakah dan karena ada peluan). Maka pada pembahasan kali ini akan memanfaatkan hasil penelitian Donald R. Cressey untuk menjawab pertanyaan tersebut.

FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA
            Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu Negara dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (tindak pidana) menurut ketentuan perundang-undangan Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan oleh BPS tidak selalu tersedia dalam format yang sama, istilah kejahatan yang dipergunakan sering kali juga tidak konsisten, dan tidak terlalu bermanfaat untuk pembahasan akuntansi forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia, perlu diingat bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan kejahatan. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan melaporkan kejahatan. Di antaranya, tercermin dari ungkapan sehari-hari yang sederhana. Oleh karena itu, beberapa kajian luar negeri tentang data kejahatan di Indonesia memberi peringatan “crimes may be unreported”.

FRAUD DALAM KUHP
Beberapa pasal dalam KUHP yang mencakup pengertian Fraud :
1.      Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
2.      Pasal 368 tentang Pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang”);
3.      Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”);
4.      Pasal 378 tentang perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang”);
5.      Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit;
6.      Pasal 406 tentng menghancurkan dan Merusak Barang (definisi KUHP: “dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak layak dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian barang orang lain”) ;
7.      Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199).

Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam ketegori fraud, seperti undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur tindak pidana perpajakan.


FRAUD TREE (POHON FRAUD)
            Secara skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta rantinf dan anak rantingnya.
            Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements.

















Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundangan kita. Korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan 4 bentuk dalam ranting-ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities, economics extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya dapat berupa bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis. Ciri-ciri mereka menjadi pemasok :
1.      Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser
2.      Nilai kontrak relatif mahal ketimbang kontrak yang dibuat dalam arm’s length. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga dengan mark up atau penggelembungan.
3.      Para rekanan ini, meskipun hanya sefelintir, mengusai pangsa pembelian yang relatif sangat besar dalam lembaga tersebut.
4.      Kemenangan dalam proses tender dicapai dengan cara-cara tidak wajar.
5.      Hubungan antara penual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebgai órang depan” atau ada persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan.
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan.

Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan bisnis dan politik Indonesia.Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan di mana si penjual “mengikhlaskan” sebagian dari hasil penjualannya. Persentase yang dihasilkan itu bisa diatur dimuka, atau diserahkan sepenuhnya kepada “keikhlasan” penjual. Kickback berbeda dengan bribery. Dalam bribery  pemberinya tidak “Mengorbankan” suatu penerimaan. Misalnya, apabila seseorang menyuap atau menyogok sesorang penegak hukum, ia mengharapkan keringanan hukuman. Dalam contoh kickback tersebut pemberinya menerima keuntungan materi.  Dalam kickback, si pembuat keputusan atau yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan dapat “mengancam” sang rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi tidak jarang pula dilakukan secara terbuka. Ancaman ini bisa merupakan pemerasan (economic excortion).
Bid Rigging merupakan permainan tender, Illegal Gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di Indonesia kita dapat melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangakat dan jabatan, dan lain-lainyang diberikan kepada pejabat.

Aset Misappropriation
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil” aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya adalah embezzlement.

Aset misappropriation dalam bentuk penjarahan kas atau cash appropriation dilakukan dalam tiga bentuk :skimming, larceny, fraudulent disbursements. Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan dengan arus uang masuk.
Dalam skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam dalam fraud yang sangat dikenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam (atau sudah masuk ke) sistem, maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursements yang lebih dekat dengan istilah penggelapan.
Penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara administratif, dengan cara menghimpun dana-dana tersebut dari berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut dana taktis; dalam bahasa Belanda, tactishe fonds; dalam bahasa Inggris, slush funds. Dalam fraud tree, baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan sebagai corruption bukan asset misappropriation. Corruption seperti ini mengandung ciri skimming.
Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan aset (safeguarding of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbursements) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima kolom (sub ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu :billing schemes, payroll schemes, expense reinbursement schemes, check tampering, dan register disbursements.

Billing schemes adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau pembebanan tagihan sebagai sarananya. Pelaku fraud dapat mendirikan perusahaan “bayangan” (shell company) yang seolah-olah merupakan penyuplai atau rekanan atau kontraktor sungguhan. Perusahaan bayangan ini merupakan sarana untuk mengalirkan dana secara tidak sah ke luar perusahaan.
Payroll schemes adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Bentuk permainannya antara lain dengan pegawai atau karyawan fiktif (ghost employee) atau dalam pemalsuan jumlah gaji. Jumlah gaji yang dilaporkan lebih besar dari gaji yang dibayarkan.
Expense reinbursement schemes adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya, misalnya biaya perjalanan. Seorang pemasar mengambil uang muka perjalanan, dan sekembalinya dari perjalanan, ia membuat perhitungan biaya perjalanan. Kalau biaya perjalanan melampaui uang muka nya, ia meminta reinbursement atau penggantian. Ada beberapa skema permainan melalui mekanisme reinbursement ini. Rincian biaya menyamarkan jenis pengeluaran yang sebenarnya (mischaracterized expense).
Check tampering adalah sekema permainan melalui pemalsuan cek. Hal yang dipalsukan bisa tanda tangan orang yang mempunyai kuasa mengeluarkan cek, atau endorsemennya, atau nama kepada siapa cek dibayarkan, atau cek nya disembunyikan (concealed checks).
Register disbursments adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam cash register. Skema permainan melalui register disbursements pada dasarnya ada dua, yakni false refunds (pengembalian uang yang dibuat-buat) dan false voids (pembatalan palsu).

Dalam false refund ada berbagai cara penggelapan, di antaranya, penggelapan dengan seolah-olah ada pelanggan yang mengembalikan barang, dan perusahaan memberikan refund. False voids hampir sama dengan false refund. Hal yang dipalsukan disini adalah pembatalan penjualan. Penjualan yang sudah terekam di pita cash register dibatalkan, seolah-olah pembeli urung melakukan pembelian. Jumlah yang sudah diterima perusahaan seolah-olah juga dibatalkan.
Skimming merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang sangat populer adalah praktik gali lubang tutup lubang dalam penagihan piutang (lapping). Contoh lain, piutang dihapusbukukan, namun tetap ditagih dari pelanggan. Hasil tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan dijarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan barang (inventory). Dalam situasi tertentu, persediaan barang menjadi barang menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh, penjualan BBM bersubsidi secara ilegal pada waktu ada disparsitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan yang tidak.Aset lainnya (yang bukan kas dan inventory) juga bisa menjadi sasaran adalah aset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang dimiliki perusahaan.
Modus operan di dalam penjarahan aset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah “misuse da larceny”. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraam bermotor perusahaan atau aset tetap lainnya untuk keperluan pribadi. Contoh, alat transportasi perusahaan atau lembaga pemerintah yang dipakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang  “dipinjam” selama seseorang memegang jabatan (misuse) dan tidak mengembalikan nya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).
Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label “Fraudulent Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis fraud ini sangat dikenal oleh auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Fraud yang berkenaan dengan penyajian laporan keuanga, sangat menjadi perhatian auditor, masyarakat atau para LSM/NGO, namun tidak menjadi perhatian akuntan forensik.
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatements baik overstatements maupun understatements). Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya (aset/revenue understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya (aset/revenue understatements).
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun eksteren. Contoh, perusahaan minyak besar didunia yang mencantumkan cadangan minyak nya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya.

AKUNTAN FORENSIK DAN JENIS FRAUD
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of asset, dan fraudulent statements.  Akuntan forensik memusatkan perhatian pada dua cabang pertama. Cabang fraudulent statements menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (general audit atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah menyentuh fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian.Pertama, ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas Jasa Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu kantor akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor akuntan publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut). Regulator dapat meminta kantor akuntan lain melakukan pendalaman, atau mereka sendiri melakukan penyidikan. Dalam hal ini akuntan forensik melakukan audit investigatif.Mengapa? Kasusnya bisa dibawa ke pengadilan atau diselesaikan di luar pengadilan dan auditnya harus lebih luas dan mendalam karena harus jelas siapa yang bertanggungjawab untuk hal apa.
Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan data secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaian kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya keahlian khusus, yakni computer forensics.

MANFAAT FRAUD TREE
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejal-gejala “penyakit” fraud yang dalam auditing dikenal sebagai red flags. Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigatif, akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kondisi kita yang berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat dapat menjadi alasan untuk tidak sepenuhnya mengikuti fraud tree diatas. Koruptor atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan pemerintahan yang koruptis mengharuskan akuntan forensik berpikir mengenai dunia nyatanya. Akuntan forensik sebaiknyamembuat sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana yang diperiksanya.

Fraud Triangle
Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers yang disebutnya “trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya diterbitkan dengan judul Other People’s Money : Study in the Social Psychology of Embezzlement.
FRAUD
TRIANGLEE

PERCEIVED OPPORTUNITY
                        PRESSURE                                                     RATIONALIZATION

Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud.Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul pressure yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya, perceived opportunity. Sudut ketiga, rationalization.

PRESSURE
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan (pressure) yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak dapat diceritakan nya kepada orang lain. Konsep yang penting di sini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi (sharing) dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa inggris disebut perceived non-shareable financial need.
Cressey menjelaskan, “ketika para pelanggar kepercayaan ini ditanya: mengapa di waktu yang lalu anda tidak melanggar kepercayaan yang diberikan terkait dengan kedudukan-kedudukan anda terdahulu, atau mengapa anda tidak melangar kepercayaan (trust) lainnya yang terkait dengan kedudukan anda sekarang? Umumnya jawaban mereka adalah salah satu diantara: (a) ketika itu belum ada kebutuhan (yang mendesak) seperti sekarang, atau (b) belum pernah terpikir untuk melakukan hal itu sebelumnya, atau (c) diwaktu yang lalu saya mengganggap perbuatan itu tidak jujur, tapi kali ini tidak demikian halnya.”
Bagi pelaku atau (embezzler), ia tidak bias berbagi masalah (keuangannya) dengan orang lain, padahal sebenarnya “berbagi masalah dengan orang lain” dapat membantunya mencari pemecahan. Apa yang bisa diceritakan kepada orang lain tentunya tergantung pada orang tersebut. Ada orang yang kehilangan uang dalam jumlah besar di meja judi dan ia menyadari sebagai suatu masalah, tetapi bukan masalah yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain. Orang lain dengan pengalaman yang sama menganggap masalah itu harus dirahasiakan dengan bersifat pribadi. Juga masalah yang dihadapi suatu bank, bagi bankir tertentu merupakan masalah yang didiskusikannya dengan orang lain, sedangkan bagi bankir lain masalah itu harus ditutup rapat-rapat, atau mencari masalah yang non shareable baginya.
Masalah tadi digambarkan sebagai masalah keuagan karena masalah ini “dapat dipecahkan” dengan mencuri uang atau asset lainnya. Seorang penjudi yang kalah habis-habisan, (merasa) harus menutup kekalahannya dengan mencuri. Namun, Cressey mencatat bahwa ada masalah non keuangan tertentu yang dapat diselesaikan dengan mencuri uang atau asset lainnya, jadi dengan melanggar kepercayaan yang terkait dengan kedudukannya. Contoh: kasir yang mencuri uang perusahaan sebagai balas dendam atas perlakuan tidak adil yang dirasakannya.
Dari penelitiannya, Cressey menemukan bahwa non-shareable problem timbul dari situasi yang dapat dibagi dalam enam kelompok:
1.      violation of ascribed obligation
2.      problems resulting from personal failure
3.      business reversals
4.      physical isolation
5.      status gaining
6.      employer-employee relation
Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan upaya memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai. Dengan lain perkataan, non shareable problems mengancam status orang itu, atau merupakan ancaman baginya untuk meningkatkan ke status yang lebih tinggi dari statusnya pada saat pelanggaran terjadi.

Violation of Ascribed Obligation
Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau majikannya. Di samping harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.

Orang dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, ini adalah ascribed obligation baginya. Kalaui ia menghadapi situasi yang melanggar kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya kepada orang lain.

Problems Resulting from Personal Failure
Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan nya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggungjawab pribadinya.
Seorang pengacara yang kehilangan tabungan hasil kerjanya bertahun-tahun. Ia menderita rugi karena menanamkan uang nya dalam bisnis yang bersaing dengan bisnis para pelanggannya. Ia percaya, kalau ia mengungkapkan masalahnya kepada para pelanggannya, mereka akan bersedia membantu. Namun, ia merasa tidak mampu mengungkapkan masalah tersebut karena telah menghianati para pelanggannya dengan berusahan dalam bisnis “rahasia” yang bersaingan dengan mereka. Ia bahkan tidak berani mengungkapkan kerugian tersebut kepada istrinya,  dan memilih mencuri uang perusahaan.Ia takut kehilangan status nya sebagai orang yang dipercaya dalam bidang keuangan, karena itu ia takut mengakui kegagalannya. Kehormatan pada diri sendiri menjadi awal kejatuhannya.

Business Reversals
Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang juga mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini berbeda dari kegagalan pribadi yang dijelaskan diatas, karena pelakunya merasa bahwa kegagalan itu berasal dari luar dirinya atau luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan itu karena inflasi yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-lain.



Physical Isolation
Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian. Dalam situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.

Status Gaining
Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah dengan “tetangga”. Orang lain punya harta tertentu, ia juga harus seperti itu atau lebih dari itu. Orang lain punya jabatan tertentu, ia juga harus punya jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi yang dibahas di atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku bersedia meningkatkan statusnya.
Cressy mencatat, “masalahnya menjadi non-shareable ketika orang itu menyadari bahwa ia tidak mampu secara financial untuk naik ke status itu, untuk menikmati simbol-simbol keistimewaan yang dijanjikan status itu secara wajar dan sah, dan pada saat yang sama ia tidak bisa menerima kenyataan untuk tetap berada dalam status itu, apalagi kalau harus turun status.”

Employer-Employee Relation
Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.
Menurut Cressey, masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable karena kalau ia mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia khawatir statusnya di organisasi itu menjadi terancam. Juga ada motivasi yang kuat baginya untuk “membuat perhitungan” dengan majikannya ketika ia merasa diperlakukan tidak adil.

PERCEIVED OPPORTUNITY
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang peluang. Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang dia dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan ketidak tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi. Kedua, technical sklill atau keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut.General information dan technical skills yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai oleh orang yang punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya. Namun, mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable financial problem, akan melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar dari masalah itu. Posisi mereka yangmendapat kepercayaan atau trust, khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan general information dan technical skills yang mereka miliki.
RATIONALIZATION
Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan sebagai usaha untuk mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Biasanya secara naluri alamiah ketika kejahatan telah dilakukan, rationalization ini ditinggalkan. karena tidak diperlukan lagi. Pertama kali manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada perasaan tidak enak. contohnya :ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi mudah, dan selanjutnya menjadi biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan untuk pertama kalinya, pembenarannya adalah: "nanti kubayar, nanti kuganti". Sekah si pelaku sukses, mencuri secara berulang kali, ia tidak memerlukan rationalization semacam itu.

Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih adalah terjemahan untuk istilah yang sangat dikenal dalam bahasa Inggris, yakni white-collar crime. Istilah ini dikenalkan oleh Edwin H. Sutherland.kejahatan kerah putih merupakan kejahatan kelas atas, kelas manusia berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan profesional terhormat, atau paling tidak, dihormati.Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang dilakukan dalam lingkup jabatan mereka.Kamus terbitan the Federal Bureau of Justice Statistics (Dictionary of Criminal Justice Data Terminology) mendefinisikan white-collar crime sebagai:
"nonviolent crime for financial gain committed by means of deception by persons whose occupational status is entrepreneurial, professional or semi-professional and utilizing their special occupational skills and opportunities; also nonviolent crime for financial gain utilizing deception and committed by anyone having special technical and professional knowledge of business and government, irrespective of the person's occupation."
"Kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional atau semi profesional dan yang memanfaatkan keahlian dan peluang yang diberikan oleh jabatannya; juga kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dan pengetahuan profesional mengenai bisnis dan pemerintahan, meskipun ia tidak terkait dengan pekerjaannya.".
Ada suatu definisi lain juga yang diusulkan oleh Albert J. Reiss, Jr. dan Albert Biderman, yaitu :
"White-collar crime violations are those violations of law to which penalties are attached that involve the use of a violator's position of economic power, influence, or trust in the legitimate economic or political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commit an illegal act for personal or organizational gain."
"Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi tertentu dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai kekuasaan ekonomi, pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga yang sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan politik namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal atau untuk melakukan kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau organisasi."

REPORT TO THE NATION
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) secara berkala menerbitkan kajiannya mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan ACFE terakhir mengenai hal ini dikenal dengan nama  Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse. Meskipun Report to the Nation adalah untuk, dari, dan berkenaan dengan Amerika Serikat, Namun di dalamnya ada informasi tertentu yang bermanfaat bagi akuntan forensik (fraud examiners).ACFE mensurvei dengan carasurvey online secara terbuka kepada Certifed Fraud Examiners (CFEs) dengan jangka waktu satu tahun. sebagai bagian dari survey, responden di minta untuk menyajikan sebuah naratif yang detail tentang kasus fraud yang terbesar yang pernah mereka tangani/ investigasi dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut harus memenuhi 4 kriteria yaitu :
1.      Kasus harus berhubungan atau melibatkan Occupational Fraud (didefinisikan sebagai Fraud secara internal, atau fraud yang dilakukan oleh seseorang yang  di dalam organisasi)
2.      Kasus dan investigasi yang dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam kurun waktu survey.
3.      Investigasi dari kasus tersebut haruslah sudah selesai pada kurun waktu survey.
4.      CFEs haruslah telah yakin dengan pelaku kejahatan yang telah di identifikasi.

Responden juga di berikan lebih kurang 85 pertanyaan untuk dijawab terkait dengan kasus yang mereka sajikan tersebut. termasuk dengan informasi si pelaku kejahatan, korban di dalam organisasi, dan metode yang digunakan untuk melakukan fraud serta tentang kecenderungan fraud secara menyeluruh. untuk menguji profesionalitas ACFE hanya mengirimkan kepada CFEs tertentu yang dianggap baik pada kurun waktu survey dilakukan dan ACFE meminta responden (yakni CFEs) untuk menyajikan beberapa informasi mengenai pengalaman mereka,

profesionalitas mereka sehingga ACFE tahu siapa yang sedang terlibat untuk mengatasi kasus yang dikirimkan kepada mereka.
Berikut merupakan responden di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012 :

                                                                             





dari table di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden adalah Fraud Examiner/ Investigator dan Responden rata-rata memiliki pengalaman kerja sebagai professional di bidangnya selama 11 tahun.






Di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa Fraud dapat terdeteksi dengan adanya  informasi (yang dibeikan oleh karyawan, konsumen, anonym, vendor, owner, competitor ), review yang dilakukan oleh manajemen dan adanya internal audit.

















seperti yang di tunjukan dibawah, pelaku kejahatan fraud jika didasarkan oleh umur mereka, kebanyakan mereka berumur antara 31 - 41 tahun, da kecenderungannya adalah laki-laki lebih banyak melakukan fraud di banding dengan perempuan, serta kebanyakan dari mereka adaah orang yang memiliki degree college sampai kepada  post graduate ke atas.








Jika dilihat melalui perbagian di dalam perusahaan maka bagian yang harus diwaspadai akan adanya fraud adalah bagian Akuntansi, Operasional, Penjualan, Manajer eksekutif atau manajer tingkat Atas, Costumer service, dan bagian pembelian.hal dapat terlihat dari survey yang dilakukan di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012. Dan kebanyakan dari mereka melakukan fraud karena ada dorongan dari gaya hidup, kebutuhan finansial yang mendesak, dan karena adanya control yang kurang baik dari organisasi.

Tuanakotta, T. M. (2010 ). Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. In T. M. Tuanakotta, Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. Salemba Empat.